Selasa, 16 Maret 2010


PENDEKATAN LINGUISTIK DALAM STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
            Bila di pandang dari satu sudut ada kesamaan antara PAUD dan Al-Qur’an, keduanya merupakan ilmu interdisipliner yang memungkinkan pembelajarnya melihat dan memahami dari aspek yang berbeda-beda. Bisa dari bidang filsafat, sosiologis, antropologi, ekonomi, biologi, matematik dan lain-lain, termasuk dari aspek bahasa atau linguistiknya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bertutur kata, apapun yang dilakukan manusia, baik sewaktu berkumpul dengan teman bermain, bertengkar, bercumbu rayu atau gali kuburan mereka pasti bertutur kata.[1] Kemampuan bertutur kata atau berbahasa inilah yang menjadi anugerah sekaligus pembeda manusia dengan makhluk lain dari ciptaan Allah, bahkan seringkali kita dengar istilah bahwa manusia adalah speaking animal.  
Sesungguhnya penggunaan linguistik dalam pengkajian Islam telah lama dipraktekkan oleh para ulama klasik, hanya saja belum ada pendefenisian bahwa apa yang mereka lakukan merupakan pendekatan linguistik, lihat saja bagaimana Ibnu Katsir menghadirkan buku tafsirnya, yang masih menjadi rujukan utama hingga hari ini. Pada masa modern barulah kemudian dirumuskan bahwa apa yang di lakukan para ulama tersebut adalah pendekatan linguistik dalam upaya pengkajian Islam.
Kita tidak bisa menafikkan peran “ilmuan barat” untuk memahami al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Pendekatan dan temuan mereka  tidak jarang mecengangkan orang-orang yang hidup dalam tradisi yang dilahirkan atau dipengaruhi oleh al-Qur’an. Suka tidak suka harus diakui fenomena kemandulan ajaran agama dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer. Meskipun kita tidak memungkiri kesempurnaan al-Qur’an dan hadis sebagai solusi untuk setiap problema namun lagi-lagi orang akan mengalami kebuntuan ketika metode dan pendekatan yang digunakan tidak tepat.   
Pada dasarnya penelitian ada tiga macam, penelitian kealaman, budaya dan sosial. Sebagai agama, Islam tidak dapat diperlakukan layaknya gejala kealaman yang terjadi berulang-ulang seperti hukum alam, karenanya Islam dapat dilihat sebagai gejala sosial dan gejala budaya.[2]
            Agama  dapat didekati baik secara kualitatif maupun kuantitatif tergantung pada gejala apa yang ingin dimunculkan. Mudzhar merumuskan ada lima gejala agama yang perlu diperhatikan, yakni: pertama, scripture atau naskah, sumber ajaran dan simbol-simbol. Kedua, para penganut, pemimpin atau pemuka agama; sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus, lembaga atau ibadat seperti  shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, lonceng, gereja atau peci. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul dan berperan.[3]  
Makalah ini sudah tentu tidak dimaksudkan penulis untuk mengeksplorasi linguistik secara mendalam, melainkan melihat bagaimana Islam yang mencakup di dalamnya sumber ajarannya dapat dilihat dengan berbagai pendekatan termasuk dari pendekatan linguistik sebagai bukti keyakinan kita terhadap kesempurnaan Islam, karenanya ada beberapa hal yang coba penulis kemukakan di makalah ini: pertama, tentang linguistik itu sendiri. Kedua, kesempurnaan  ajaran Islam dan bagaimana pendekatan linguistik dapat digunakan dalam mengkaji Islam.       
Pengertian, Objek dan Bidang Linguistik
            Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, agar komunikasi diantara mereka berjalan dengan baik dan lancar dibutuhkan sarana yang mampu menjembatani keinginan dan maksud yang akan disampaikan, dalam hal ini media komunikasi yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah bahasa. Beberapa pakar berupaya memberikan defenisi bahasa.
            Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan bahasa sebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan maksudnya.[4] Bunyi-bunyi bahasa menurut Plato secara implisit mengandung makna-makna tertentu.[5] Kridalaksana sebagaimana yang dikutip oleh Aminuddin mengartikan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk berkerja sama, berinteraksi dan mengindentifikasi diri.[6]
            Sebagai media komunikasi, bahasa harus dapat dipahami dan dimengerti, untuk itu bahasa harus bersifat sistematis dan sistemis. Bahasa mesti bersifat sistematis karena bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu, dan bersifat sistemis karena memilki subsistem, yaitu, subsistem fonologis, subsistem gramatikal dan subsistem leksikal.[7] Dalam mencari makna dari sebuah kata ketiga subsistem bahasa tersebut menjadi objek kajian semantik.
Linguistik adalah studi bahasa secara ilmiah dengan fokus utamanya adalah struktur bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya adalah bagaimana orang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.[8] Ahli linguistik yang disebut linguis[9] menurut Verhaar tidak berurusan dengan bahasa sebagai alat pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khas golongan sosial atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan ahli psikologi, sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik adalah bahasa sebagai bahasa.[10] Secara umum pembidangan linguistik di bagi atas: [11]
1.      Menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua bagian besar linguistik mikro dan makro. Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakup struktur fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikon. Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi dan neurologi.
2.      Menurut tujuan kajiannya dibagi atas linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis seperti pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.
3.      Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan sejarah linguistik mengakaji perkembangan ilmu linguistik mengenai tokoh-tokohnya, alira teorinya, amupun hasil kerjanya.
Verhaar merumuskan bidang-bidang dasar linguistik yang menyangkut struktur dasar tertentu dalam berbagai bagian: struktur bunyi dan bahasa (fonetik dan fonologi), struktur kata (morfologi), struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis), arti atau makna (semantik), menyangkut siasat komunikasi antar orang (parole), pemakian bahasa dan hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan (pragmatik).[12]
            Selain Ferdinand De Saussure yang sering disebut Bapak atau pelopor linguistik, ada beberapa tokoh yang fokus dalam kajian lingustik seperti Leonard Bloomfield, Jhon Rupert Firth, Noam Chomsky dan lain-lain.[13] Dalam Islam ada beberapa nama seperti abu Aswad ad-Duali, imam Khalil, Sibaweh, Ibnu Jinni, Ibnu Faris dan yang lainnya.
Islam, Al-Qur’an dan Fenomena Linguistik
             Islam sering didefenisikan dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, wahyu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunnah Nabi Muhammad saw[14], menguatkan hal ini Baidan mengemukakan hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah: Saya telah meninggalkan dua pusaka padamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan Sunnahku.[15]  
Terkait dengan wahyu yang artinya perkataan (kalam) Allah,[16] Menarik apa yang diungkapkan Toshihiko Izutsu, menurutnya Allah mewahyukan melalui bahasa, dan bukan dalam bahasa yang misterius melainkan dengan bahasa manusia yang jelas dan dapat dimengerti.[17] Itulah sebabnya manusia dapat mempelajari al-Qur’an dari berbagai aspek, termasuk bahasa atau linguistiknya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Bukan hanya diperuntukan bagi manusia saja, bahkan makhluk selain manusiapun merasakan arti penting akan kehadiran al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang paripurna, didalam al-Qur’an termuat segala macam yang terkait dengan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, alam semesta, alam ghaib dan yang lebih menariknya lagi al-Qur’an mampu berbicara melewati waktunya. Sebagai sebuah mukjizat al-Qur’an mampu berbicara tentang kehidupan yang akan datang, mengulas fenomena-fenomena ilmu pengetahuan yang belum pernah terfikirkan oleh manusia yang hidup pada zaman al-Qur’an diturunkan[18], oleh karena itu tidak salah bila dikatakan al-Qur’an merupakan mukjizat akhir zaman.
Al-Qur’an sebagai hudan (petunjuk) dapat dikaji dan diselami samudra hikmah dan keilmuanya dari berbagai aspek, sebagai kitab suci yang sempurna sudah tentu al-Qur’an  dapat difahami dari sisi manapun, Sebagaimana yang dikatakan oleh Izutsu bahwa al-Qur’an bisa didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya[19]
Dalam memahami kandungan al-Qur’an kaum muslimin senantiasa berpegang teguh pada keyakinannya bahwa al-Qur’an tidak ada keraguan didalamnya[20], asumsi yang dibangun dalam memahami al-Qur’an berpijak pada keyakinan akan kebenaran al-Qur’an  bukan berangkat dari keragu-raguan. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum orientalis dalam mengkaji al-Qur’an, asumsi yang mereka bangun berdasarkan pada keraguan akan kebenaran al-Qur’an.
Untuk dapat memahami isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan benar, menurut Doktor A’isyah Abdurahman atau yang biasa dikenal dengan “Bintusy Syathi’”paling tidak dibutuhkan kemampuan dalam memahami mufradat (kosakata) al-Qur’an dan uslub (gaya bahasa)-nya, dengan pemahaman yang bertumpu pada kajian metodologis-induktif dan menelusuri rahasia-rahasia ungkapannya.[21] Issa J. Boullata dalam kata pengantarnya terhadapa buku tafsir Bintusy-Syathi’ menejelaskan bahwa, dalam mengkaji al-Qur’an Bintusy-Syathi’ menggunakan empat butir metode yang salah satunya disebutkan, “ karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an, maka –untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam kitab suci itu- harus dicari arti linguistik aslinya yang memilki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya”.[22]
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber, panduan hidup dan kehidupan, ia tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat Islam. oleh karena itu, banyak para pakar yang mencoba menggali dan menyelami samudra ilmu yang terkandung didalamnya. Untuk dapat memahaminya dibutuhkan keahlian dan kemampuan salah satunya adalah penguasaan bahasa. Menjadi problem bagi umat Islam dalam memahami al-Qur’an yang diwahyukan dengan menggunakan bahasa Arab,. Islam telah tersebar keseluruh penjuru dunia, dianut oleh semua bangsa dengan bahasa yang beranekaragam. Bahasa menjadi problem yang cukup mendasar bagi mereka yang ingin mendalami al-Qur’an. bahkan disyaratkan bagi seorang Faaqih dan ahli tafsir untuk menguasai bahasa Arab.
            Mengulang kembali apa yang diungkapkan Shihab setidaknya ada beberapa hal yang menjadikan al-Qur’an istimewa selain kemukjizatan dan kedalaman maknanya, yakni:[23]
1.      Nada dan langgamnya. Huruf dari pilihan kata yang dipilih melahirkan keserasian bunyi, kumpulan kata melahirkan pula keserasian irama dan rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
2.      Singkat dan padat. Susunan kalimatnya terlihat singkat namun padat makna.
3.      Memuaskan para pemikir dan orang kebanyakan karena kedalaman kandungan maknanya.
4.      Memuasakan akal dan jiwa.
5.      Keindahan dan ketepatan maknanya.

Sepanjang sejarah pemikiran Islam, dari dulu hingga sekarang persoalan mengenai apakah wahyu turun dalam bentuk verbal atau ide masih terus menimbulkan perdebatan, Sugiyono menyebutnya dengan istilah misteri teologis, karena ia merupakan sesuatu yang misterius, sulit dipahami oleh pikiran manusia namun harus diimani. Sebagai fenomena verbal, wahyu sulit dipahami karena pembicaranya Tuhan dan pendengarnya justru manusia.[24]
Hal senada juga diungkapkan Al-A’zami bahwa penerimaan wahyu al-Quran ada di luar jangkauan penalaran akal manusia sehingga dalam memahami penalaran wahyu kita semata-mata merujuk pada laporan authentic dari Nabi Muhammad dan orang-orang kepercayaan yang menyaksikan kehidupan beliau.[25] Tetapi sehubungan diturunkannya al-Quran yang sampai ke hadapan kita dalam bentuk teks, maka pengkajian al-Qur’an tidak luput dari pendekatan linguistik.
          Allah swt telah memberikan keberkahan kepada bangsa Arab dengan diutusnya seorang nabi yang membawa risalah agama Islam, dengan al-Qur’an sebagai kitab sucinya sehingga dengan demikian secara otomatis bahasa Arab menjadi bahasa pengantar al-Qur’an. Dengan tersebarnya agama Islam  keseluruh dunia menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipelajari dan diajarkan dengan tujuan untuk dapat memahami al-Qur’an lebih mendalam.
          Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an bukan tanpa alasan, bahasa Arab bagian dari rumpun  bahasa yang besar yaitu rumpun bahasa Samiyah (Semit), yang terbagi menjadi Syarqiyah (Timur) dan Gharbiyah (Barat), Syamiyah Gharbiyah  dibagi lagi menjadi Gharbiyah Syimaliah dan Gharbiyah Janubiyah, sedangkan Syamiyah Syarqiyah dibagi menjadi Akadiyah dengan cabangnya yaitu Babiliyah (Babiloni) dan Asy-Syuriyah (Suriah). Dari jalur Gharbiyah Janubiyah inilah lahir bangsa Arab dan Habasyah.[26] Pada awalnya bangsa Arab bukanlah bangsa yang dikenal dan tidak ada yang dapat dibanggakan darinya, bahkan sejarahnya pun tidak jelas[27]. Meskipun demikian, keberadaanya telah ada sejak zaman purba dan hal itu dapat ditemukan di dalam berbagai sumber, seperti di dalam kitab suci Perjanjian Lama dan dalam karya-karya sastra klasik bangsa Arab. Dalam hal ini Sayid Muzaffaruddin menjelaskan di dalam bukunya Sejarah Geografi Qur’an, ada empat sumber acuan yang ia gunakan dalam melihat historis bangsa Arab yaitu literatur Islam, literatur Yahudi, literatur Klasik, dan penemuan Arkelogi [28].
          Sebagaimana fungsi bahasa pada umumnya bertujuan sebagai sarana untuk mengungkapkan ekspresi perasaan dan pikiran yang dituangkan dalam symbol suara, gerak, huruf dan kata[29]. Begitupula halnya dengan bahasa Arab, namun bahasa Arab yang menjadi medium  bahasa al-Qur’an telah berproses menjadi bahasa Agama yang memilki fungsi dan peran yang lebih dari sekedar sebagai bahasa manusia pada umumnya.
Berkaitan dengan istilah “bahasa agama”, Komaruddin Hidayat menyebutkan bahasa agama adalah kalam ilahi yang kemudian terabadikan dalam kitab suci. Disini Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. Pengertian yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Jadi bahasa agama menurut pengertian yang kedua adalah wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci[30].  Lebih lanjut Komaruddin memaparkan bahwa kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti. Dengan kata lain, al-Qur’an yang terkandung di dalamnya berbagai macam khazanah keilmuan telah menjadi poros ilmu pengetahuan. Al-Qur’an telah melahirkan berbagai macam disiplin keilmuan sehingga tidaklah salah bila dikatakan al-Qur’an menjadi semacam “ledakan nuklir” yang radiasinya memancar ke segala pelosok kehidupan.
Bahasa Agama, dalam hal ini al-Qur’an, merupakan sesuatu yang bersifat transenden dan universal. Ia memilki kelebihan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan bahasa-bahasa yang ada. Syed M. Naquib al-Attas, sebagaimana yang dukutip oleh Sugeng, menyebutkan bahwa bahasa Arab tidak termasuk dalam kategori bahasa-bahasa lainnya berkenaan dengan struktur semantiknya disebabkan kenyataan sebagai berikut.
1.      Struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem akar-akar kata yang tegas
2.      Struktur semantiknya diatur oleh sistem medan semantik tertentu yang menentukan struktur konseptual yang terdapat dalam kosakatanya dan dimantapkan secara permanen oleh hal-hal yang disebut diatas
3.      Kata, makna, tata bahasa, dan persajakannya telah direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara ketetapan semantiknya[31]
Susunan bahasa al-Qur’an mengandung unsur keindahan bahasa Ilahi yang dapat membuat manusia terkagum dan terpesona bila mendengar atau membacanya karena bahasa al-Qur’an terpadu secara harmonis antara isi dan maknanya.[32]
          Dengan keberadaan al-Qur’an bangsa Arab telah diuntungkan, paling tidak oleh tiga aspek, Pertama aspek bahasa, dengan digunakan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an menjadikan bahasa Arab terjaga dari kepunahan dan menjadi bahasa mendunia sehingga Doktor Ramdan Abu Tawab menulis satu bab dalam bukunya, law la al-Qur’an ma kanat arabiyah (Kalaulah bukan karena al-Qur’an, musnah sudah bahasa Arab), kedua , aspek politik. Dimana sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab tidak ada artinya, mereka masih menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa yang bar-bar hingga Allah mengangkat derajat mereka dengan datangnya seorang nabi yang membawa ajaran Islam. Bersamaan dengan penyebaran dakwah, Islam telah mengenalkan bangsa Arab ke seluruh dunia dan menjadikannya bangsa yang memiliki kemuliaan dengan Islam. Kalaulah bukan Islam bangsa Arab lebih hina dari bangsa yang tidak beradab, ketiga,  aspek ekonomis. Dengan disyari’atkannya ibadah haji menjadikan kaum Muslimin berbondong-bondong datang ke Baitullah sehingga secarah ekonomis memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi kerajaan Saudi Arabia setiap tahunya. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan ibadah Umrah. Disamping itu, berkat do’a nabi Ibrahim, tanah Arab telah diberi keberkahan dengan sumber minyak bumi yang melimpah, dan berkat do’a nabi Muhammad tanah Arab diakhir zaman kelak tidak akan tersentuh oleh Dajjal.

Aplikasi Pendekatan Lingustik Dalam Studi Islam
   Linguistik dalam hal ini memegang peran yang cukup penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Tidak hanya yang termaktub dalam al-Qur’an tetapi juga terhadap hadist nabi. Dalam ajaran Islam banyak aturan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan trem-trem kebahasaan, seperti konsep kepercayaan yang terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin, kafir, fasik, murtad dan sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan yang berkaitan dengan relasi Tuhan dan manusia, seperti konsep Ibadah, jihad, hijrah, haji, zakat dan lain sebagainya.[33] Pemahaman tentang konsep-konsep keagamaan diawali dari pemahaman dari sudut kebahasaan sangat diperlukan, seperti contoh kata zakat, pada awalnya kata zakat merujuk pada makan tumbuh/berkembang secara umum, namun setelah datang Islam, kata zakat memiliki makna yang lebih menyempit merujuk kepada, batasan yang telah diwajibkan untuk dikelurkan dan diberikan kepada yang berhak dari harta yang telah sampai pada nasab yang telah ditentukan[34]. Secara teori kebahasaan, suatu bahasa akan dapat mengalami perkembangan, pergeseran atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam bentuk meluas ataupun menyempit. Perubahan makna dapat juga berarti penggantian rujukan, rujukan yang pernah ada diganti dengan rujukan yang baru[35]. Kata hijrah misalnya secara leksikal ia memilki makna “keluar dari sutu negeri ke negeri yang lain[36]. Namun ketika kata hijrah telah terhubung dengan kata iman dan jihad dalam sebuah kalimat maka makna yang terkandung didalamnya tidak hanya sekedar sebuah aktifitas perpindahan badan dari satu tempat ketempat yang lain. Dalam konteks ini kata hijrah akan mengalami perkembangan makna yang bisa jadi mengarah kepada perluasan maupun penyempitan.
Islam sebagai agama wahyu telah memberikan pencerahan dan pembaharuan dari segala bidang, baik itu kebudayaan, kepercayaan, tatanan hidup bermasyarakat, bernegara dan termasuk juga didalamnya pembaharuan dari segi kebahasaan. Beberapa kunci terminologi etika Jahiliyah telah mengalami transformasi semantik yang spesifik,[37]  seperti karīm yang merupakan derivasi dari karam dan  lawan dari bakhīl[38] terdapat dalam al-Qur'an sebanyak 47 kali dengan  berbagai derivasinya. Pada awalnya karīm merupakan cita-cita Jahiliyah tertinggi dalam hal kedermawanan tanpa perhitungan sebagai manifestasi langsung dari kemuliaan. Kemudian menghadapi transformasi ke dalam sesuatu semantik yang mendalam, pada saat yang sama, dan dalam kaitannya dengan hal itu, kata karim lalu diterapkan kepada seseorang yang sungguh-sungguh percaya dan taat, yang bukannya menghabiskan kekayaannya dengan membabi buta, tanpa berpikir panjang dan semata-mata untuk pamer, namun sama sekali tidak ragu-ragu untuk menggunakan kekayaannya untuk tujuan yang jelas dan benar-benar “mulia” berdasarkan konsep yang baru,[39] yakni membelanjakan kekayaanya “dijalan Allah[40].
Masih banyak lagi konsep-konsep keagamaan yang harus difahami secara utuh dan mendalam, hal tersebut bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan pemahaman yang akan berakibat pada kesalahan dalam pengamalan. Dapat dibayangkan mislanya apabila umat Islam memahami kata sholat sebagaiamana pengertiannya dimasa jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab diartikan sebagai “do’a”, padahal setelah kata sholat digunakan dan dimasukan dalam trem yang sangat pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telah mengalami pemaknaan yang lebih khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat juga menjadi pokok atau tiang dari agama Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh hadits-hadits nabi saw. Untuk dapat mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah, mua’amalah dan akidah secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahasa memegang peran yang sangat besar.

Penutup
            Islam bukan agama yang menutup rapat-rapat kebenaran yang ada di dalamnya. Kajian-kajian mutakhir yang telah dilakukan para ilmuwan meski dengan orientasi yang berbeda tidak mengurangi hakikat kebenaran dalam Islam justru membuat orang-orang yang berpikiran positif akan semakin yakin dengan agama ini. Meski makalah ini lebih banyak mengungkapkan tentang al-Qur’an namun tidak juga menafikkan bahwa pendekatan linguistik juga bisa terhadapp hadis. Pendekatan lingustik amat besar perannya dalam memberikan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan sehingga fenomena kemandulan ajaran dapat di atasi secara cerdas dan bijak.





DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zami, MM. The History The Qur’anic Text From Revelation To Compilation: A Comparative Study With The Old and New Testaments. terj. Sohirin dkk. cet. ke-3, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Alwasilah Chaedar A. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa, 1993.
Aminuddin, Semantik ; Pengantar Studi Tentang Makna, Bandung :Sinar Baru Algensindo, 2008.
Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002.
Dawud, Muhammad Muhammad. al-Arabiyah wa Ilmul Lughoh al-Hadits. Kairo: Daru Ghorib, 2001.
Hamid Nasr. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta: LKIS, 2001.
Husaini, Adian. Hegemoni Kristen-Barat: Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta, Gema Insani Press, 2006.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekan Semantik terhadap al-Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
;Qalyubi, Syihabuddin. Stilistika Al-Qur’an: Makna di Balik Kisah Ibrahim. Yogyakarta: LKIS, 2009.
Shihab, Quraish M. Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. cet. ke-2, Bandung: Mizan, 2007.
Sudaryat, Yayat. Makna Dalam Wacana, Prinsip-Prinsip Semantic Pragmatik. Bandung: CV Yrama Widya,  2009.
Sugiyono, Sugeng. Lisan dan Kalam Kajian Semantik Al-Qur’an. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2009.
Verhaar, J. W. M. Asas-Asas Linguistik Umum. cet. ke-6, Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2008.
Wijaya, Aksin. Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan [Kritik Atas Nalar Tafsir Gender]. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.





[1] Alwasilah Chaedar A, Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 1.

[2] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 6.
[3] Ibid., hlm. 13-14.
[4] Muhammad Muhammad Dawud, al-Arabiyah wa ilmul lughoh al-Hadits (Kairo: Daru Ghorib, 2001), hlm. 43.
[5]Aminuddin, Semantik ; Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung :Sinar Baru Algensindo, 2008) hlm. 15.

[6] Ibid., hlm. 28.
[7] Yayat Sudaryat, Makna Dalam Wacana, Prinsip-Prinsip Semantic Pragmatik (Bandung : CV. Yrama Widya,  2009), hlm, 3
[8] Chaedar, Beberapa, hlm. 18.
[9] Chaer. Hlm. 4.
[10] Verhaar. Hlm. 5.
[11] Chaer., Ibid.
[12] Verhaar. Hlm. 9.
[13] Chaer. hlm. 65.
[14] Mudzhar. Hlm. 19.
[15] Baidan, hlm. 2.
[16] Sugiyono, hlm. 53.
[17] Izutsu. Hlm. 166.
[18] Fatwa Ma’ruf, “Kata Pengantar”, dalam Wisnu Arya Wardhana, Al-Qur'an dan Energi Nuklir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xii.
[19] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, (Yogyakarta : Tiara wacana, 2003), hlm. 1
[20] Q.S. Al-Baqoroh ayat ke-2.
[21] A’isyah ‘Abdurahman, Tafsir Bintusy-Syathi’ (Bandung :Mizan, 1996), hlm. 32
[22] Ibid, hlm. 13
[23] Shihab, hlm 123-143.
[24] Sugeng, hlm. 53.
[25] Al-A’zami. Hlm. 48.
[26] Ramdan Abdut Tawab, Fushul fi Fiqhil Lughoh, (Kairoh : Maktabah al-Khoniji, 1999), hlm, 36
[27] Sayid Muzaffaruddin Nadvi, Sejarah Geografi Qur’an, terj. Jum’an Basalim ( : Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 5
[28] Ibid. hlm, 10
[29] Zainuddin mencoba merumuskan sembilan konsep pengertian akan maksud bahasa, yaitu, bahasa adalah seperangkat kebiasaan, bahasa adalah sistem, bahasa adalah lambang, bahasa terdiri dari bunyi-bunyi yang membedakan arti, bahasa adalah hasil persepakatan, bahasa bersifat linear, bahasa diperoleh dengan belajar, bahasa dapat berubah, dan bahasa bersifat produktif. Lihat penjelasana lengkapnya dalam  Zainuddin, Pengetahuan Kebahasaan, Pengantar Linguistik Umum, (Surabaya : Penerbit Usaha Nasional, tt) hlm. 11-18
[30]  Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta : Paramadina, 1996 ), hlm. 5.
[31] Sugeng Sugiyono, Lisan Dan Kalam, Kajian Semantik Al-Qur’an, (Yogyakarta : SUKA- Press, 2009), hlm, 1--2
[32] Chadiq Charisma, Tiga Kemukjizatan Al-Qur’an (Surabaya : Bina Ilmu, 1991), hlm, 16
[33] Kajian linguistik dalam hal ini analisis semantik telah dilakukan oleh Toshiko Izutsu dalam tiga bukunya, konsep kepercayaan dalam Teologi Islam, analisis semantik iman dan Islam. relasi tuhan dan manusia dan konsep-konsep etika religious dalam al-Qur’an terbitan Tiara Wacana Yogyakarta
[34] Muhammad Muhammad Dawud, al-Arabiah wa Ilmul Lughoh al-Hadits, ( Kairo :Dar Ghorib, 2001), hlm.
[35] J.D. Parera, Teori Semantik, hlm. 107
[36]  Louis Ma’luf, Al-Munjid fil Lughoh wal I’lam (Bairut : Darul Masyriq, 2007), hlm.  855
[37]  Toshihiko Isutzu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an Etika Beragama dalam Qur'an, terj. Mansuruddin Djoely, cet II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 113.
[38]  Anthawāni Qīqānū,  al-Mutqinu Mu’jam al-‘Adhādi (Beirūt: Lubnān Dā-al Rātib al-Jami’iyah, 2004), hlm.  360.
[39] Toshihiko Isutzu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur'an, terj. Aguslim Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 41-42.
[40]  QS. al-Hadīd: 7, QS. al-Baqarah:261-262;


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda