Kamis, 06 Agustus 2009

Hermeneutika al-Qur'an, sebuah kemustahilan.

Pendahuluan 
Mengkaji al-Qur’an merupakan sebuah usaha yang tidak mudah. Apalagi jika materi kajian tersebut memasuki wilayah yang diperdebatkan banyak orang. Seiring perjalanan waktu, bertambah pulalah kwantitas dan kwalitas umat Islam, konskwensi ini melahirkan berbagai model aliran faham dalam dunia Islam. Berkaitan dengan pengkajian tentang al-Qur’an, pada masa itu muncul dua aliran faham yang saling bertentangan, yaitu muktazilah dan Asyariyah. Materi kajian kedua faham ini berkisar pada bagaimana status al-Qur’an, apakah al-Qur’an itu Qodim atau jadid, al-Qur’an apakah makhluk atau Kalam Tuhan.
Kelompok muktazilah menganggap al-Qur’an merupakan sikap tindakan Tuhan yang bersifat baru, sehingga, menurut Nasr Hamid hal tersebut menandakan bahwa al-Qur’an merupakan fenomena sejarah, dengan alasan, semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di duni” yang tercipta dan baru, dengan kata lain bersifat historis. Demikian pula, al-Qur’an merupakan fenomena sejarah dari segi bahwa ia merupakan salah satu manifestasi yang paling komprehensif, karena dia yang paling akhir. 
Faham Muktazilah yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah Makhluk, menggiring pada pemahaman kemakhlukan al-Qur’an yang tidak terlepas dari segi bahasa, suara, huruf, dealek. Muktazilah membayangkan tidak mungkin sebuah ungkapan tanpa organ lidah. Dan karena Allah terbebas dari organ-organ tubuh, maka al- Qur’an bukanlah kalam Tuhan . 
Sedangkan faham yang menolak kemakhlukan al-Qur’an berpendapat bahwa al-Qur’an bersifat azali yang melekat pada sifat Dzat Allah dan al-Qur’an sudah ada sebelum dunia ini ada, maka ia bersifat Qodim sebagaimana yang terdapat di lauhfil mahfuzh.
Pemahaman al-Qur’an sebagai makhluk atau bersifat jadid inilah yang membuka pintu masuknya pendekatan Hermeneutik dalam pengkajian al-Qur’an. Dengan kata lain, kemakhlukan al-Qur’an ini berpotensi bagi penerapan metode hermeneutik. Namun bagaimana halnya dengan mereka yang menolak faham kemakhlukan al-Qur’an, apakah hermeneutik dapat masuk kedalamnya ? jika dipaksakan, akan menimbulkan problem, siapa pengarang al-Qur’an ? jika jawabannya adalah Allah, lalu bagaimana sejarah Allah ? karena didalam hermeneutik mensyaratkan adanya tiga unsur yaitu, pengarang, teks dan audiens.
Hermeneutik sebagai metode penafsiran bukanlah barang baru, kajian ini sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Faham hermeneutik yang diusung oleh Nasr Hamid merupakan barang kuno yang pernah digunakan oleh masyarakat Barat. Dilihat dari “karirnya”hermeneutik pernah memukul KO bible, sehingga Bible jatuh tersungkur kehilangan kesakralannya.
 Salah satu fenomena baru dalam dunia studi Islam dewasa ini adalah masuknya hermeneutik dalam mengkaji al-Qur’an. Sejumlah kampus Islam di Indonesia terutama IAIN/UIN telah menjadikan hermeneutik ini sebagai matakuliah pada jurusan Tafsir dan hadits. Bahkan pada tataran wacana, hermeneutik telah menjadi polemik antar pemikir dan cendikiawan Islam, apakah hermeneutik dapat dipakai untuk mengkaji al-Qur’an ?. Yudian Wahyudi. Ph.D. seorang lulusan dari Islamic Studies McGill University, Montreal, Kanada, melihat fenomena hermeneutik sebagai kekagetan akademik, lebih lanjut Yudiyan menyebut dengan istilah “mabok metode”. 
Dalam sejarahnya, hermeneutik pernah digunakan oleh dunia Barat dalam menafsiri teks Bible . Dalam tradisi Barat, Hermes berperan menafsirkan pikiran Tuhan. Masih di Barat, Hermes juga dianggap sebagai “pencuri”. 
Hermeneutik sebagai metode penafsiran al-Qur’an pertama kali dikenalkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Nasr Hamid mengklaim, bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutik di dalam bahasa Arab dengan judul tulisannya al-Hirminiyutiqa wa Mu’dilat Tafsir al-Nas ( hermeneutika dan problem penafsiran teks) pada tahun 1981. 
Di Indonesia kajian hermeneutik sebagai metode menafsiri al-Qur’an dikenalkan oleh para akademisi dari kampus-kampus Islam. Seperti contoh, buku “Hermeneutika Pembebasan”, dengan kata pengantarnya Prof. M. Amin Abdullah, beliau menulis :
“Metode penafsiran al-Qur’an selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks al-Qur’an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks. Hal ini dapat dimaklumi sebab para mufasir kelasik lebih menganggap tafsir al-Qur’an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya. Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertarungan politik yang mahadasyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik al-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam .
Pesan yang dapat ditangkap dari pernyataan ini, bahwasannya perlu adanya sebuah bentuk metode penafsiran baru yang dapat mengakomodir kepentingan umat, atau dalam bahasa Zuhairi Misrawi “Problem Umat” . Umat Islam tidak cukup hanya mengandalkan metode penafsiran yang telah dibuat oleh para ulama’ terdahulu, harus ada terobosan baru guna memberikan jawaban dari setiap “keinginan” manusia, oleh karena itu hermeneutik kiranya dapat menjadi sebuah metode “baru” dalam penafsiran al-Qur’an, sehingga dapat memberikan makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam . 

Pengertian 
Hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi. Istilah ini merujuk pada seorang pendeta bijak Delphic yang mengasosiasikan kata hermeios pada Dewa Hermes.
Hermes dikaitkan dengan fungsi penyampaian pesan, apa yang ada dibalik pemahaman manusia kedalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensi manusia. Bentuk yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami .
Sejak awa kemunculannya hermeneutik menunjuk pada ilmu interpretasi. Yaitu metode penyampaian pesan agar dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan, dalam hal ini hermeneutik dikaitkan dengan pesan (firman) ilahi yang disampaiakan kepada manusia, kemudian diinterpretasikan oleh sipembawa pesan. Dalam mitologi yunani dewa Hermeslah yang bertugas menyampai pesan-pesan Dewa. 
Seiring perjalanan zaman pengaruh yunani dalam hal hermeneutik masuk kedalam teologi kristiani sebagai metodologi penafsiran bible. 
Selain sebagai metode penafsiran bible, hermeneutik juga merambah pada bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora.  
Pada masa moderen hermeneutika didefenisikan dalam enam bentuk yang berbeda : 
1. Teori eksegesis Bible, 
2. Metodologi filologi secara umum, 
3. Ilmu pemahaman linguistik, 
4. Fondasi metodologis geisteswessenshaften, 
5. Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan 
6. Sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol .

Asumsi dasar
Sebelum kita masuk kedalam pembahasan asumsi dasar yang melatar belakangi penggunaan hermeneutik dalam studi tafsir al-Qur’an, ada baiknya kita menengok kebelakang sejenak, sejarah penggunaan hermeneutik sebagai metode menafsiri kitab suci. 
Kajian kritis terhadap kitab suci pada mulanya dimotori oleh para teolog Yahudi-Kristen. Untuk pertama kalinya Richard Simon (1638-1712) yang dijuluki dengan ‘the father of Biblical criticism’, seorang pendeta Prancis, melakukan kajian kritis terhadap perjanjian baru versi erasmus yang dijadikan textus receptus.  
Pada tahun 1645-1707, John Mill seorang teolog Anglika menganalisa secara kritis teks perjanjian baru selama 30 tahun, ia menerbitkan karyanya dengan judul Novum Testamentum Graecum cum lectionibus variantibus studio et labore, Joannis Milhi. Colectionem Millianam locupleativit, ludolphus kusterus ( perjanjian baru Yunani dengan varian bacaan, studi dan kajian John Mill, editor Ludolph Kuster).  
Melanjutkan karya pendahulunya, seorang profesor dalam bidang teologi di Halle, jerman, Johann Salomo Semler (1725-1791) menulis berbagai karya yang mengulas tentang individu-individu yang mengarang bible, ia berpandangan, firman Tuhan tidak indentik dengan kitab suci, alasannya kitab suci memuat buku-buku yang penting hanya untuk masa terdahulu saat buku-buku tersebut ditulis. Menurut Semler, ajaran seperti itu tidak dapat memberikan sumbangan moral kepada manusia pada saat ini untuk maju. Bahkan menurutnya, setiap orang kristen berhak untuk meneliti secara bebas kondisi historis buku didalam bible ketika ditulis. 
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834), seorang profesor teologi dari universitas Berlin yang mendapat gelar ‘the founder of General Hermeneutics, berependapat bahwa, sekalipun Bible adalah wahyu namun ia ditulis dalam bahasa manusia, ia menambahkan pula, buku-buku yang ada didalam Bible sepatutnya diperlakukan sama dengan karya-karya tulis yang lain.  
Para pengusung hermeneutik sebagai metode penafsiran al-Qur’an, seperti Nasr Hamid mengasumsikan, bahwasannya al-Qur’an adalah sebuah produk budaya muntaj thaqafi 
إن النص فى حقيقته و جوهره منتج ثقافي, والمقصود بذالك أنه تشكل في الواقع و الثقافة خلال فترة تزيد علي العشرين عاما. 
Dan ia juga menjadi produsen budaya muntij li al-thaqafah  
لكن القول بأن النص منتج ثقافي يمثل بالنسبة للقران مرحلة التكوين و الاكتمال, و هي مرحلة صار النص بعدها مُنِتجاً للثقافة,..
. Hal ini didasarkan pada, bahawa teks al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya selama lebih dari 20 tahun. Nasr Hamid juga mengasumsikan bahwa bahasa manusia tidak dapat dipisahkan dengan realitas dan budaya, maka al-Qur’an juga sebagai teks bahasa nas lughowi . 
Menurut Nasr Hamid, teks Ilahi berubah wujud menjadi teks manusiawi sejak turunya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad, karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil.
النص منذ لحظة نزوله الاولى – أي مع قراءة النبي له لحظة الوحي- تحول من كونه (ناصاً إلهياً) و صار فهماً (ناصا إنسانياً), لأنه تحول من التنزيل الي التأويل
 Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia

إن فهم النبي للنص يمثل أولى مراحل حركة تانص فى تفاعله بالعقل البشرى .
  Asumsi ini menggiring kepada pandangan bahwasannya al-qur’an tidak dapat melepaskan dirinya dari realitas sejarah dan budaya, sehingga ia tidak dibedakan dengan teks-teks yang lain dalam budaya. 
Dapat kita bandingkan antara asumsi yang dikemukakan oleh para teolog Yahudi-Kristen dengan asumsi yang dikemukakan oleh Nasr Hamid, apakah ada kesesuaian ?, disini dapat dilihat, bahwa apa yang diusung oleh “ide” Nasr Hamid tentang al-Qur’an tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para teolog Yahudi-Nasrani . Pandangan Nasr Hamid ini bukanlah barang baru dalam pemikiran Islam, sebagaimana yang telah disinggung dalam pendahuluan diatas. Faham kemakhlukan al-Qur’an yang diusung oleh kelompok Muktazilah tidak terlepas dari pengaruh filsafat Yunani. Begitupula halnya dengan faham yang diusung oleh Nasr Hamid sangat berbau Muktazilah dan terpengaruh filsafat Eropa.
Pandangan Nasr Hamid diatas dibantah oleh Adnin Armas dalam bukunya “Metodologi Bible dalam Studi al-Qur’an”. Armas menolak pernyataan Nasr Hamid bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, karena ketika diturunkan secara gradual, al-Qur’an ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah. Ibnu Ishaq (150 H/767 M) menyatakan al-Qur’an adalah sesuatu yang asing dengan budaya mereka. Bahkan al-Qur’an menantang budaya jahiliya pada masa itu yang sangat membanggakan kemampuan puisi mereka. Dalam surah al-Isra’ (17 :8 8) , Allah menyebutkan: 
“ Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". 
Jadi menurut pendapat Adnin Armis, al-Qur’an bukanlah produk budaya sebagaiman yang diasumsikan oleh Nasr Hamid, karena al-Qur’an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur’an justru menentang budaya yang ada. 
Al-Qur’an juga bukan merupakan teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra Arab lainnya. Jika al-Qur’an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah difahami oleh orang Arab pada saat itu. Namun kenyataannya tidak semua kata dalam al-Qur’an dapat difahami oleh para sahabat. Selain itu al-Qur’an memuat berbagai macam dialek bahasa Arab. Didalam al-Qur’an juga terdapat al-Ahruf al-Muqoto’ah, yang pada saat itu belum dikenal dalam dunia sastra Arab. Sekalipun al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah kepada umatnya pada abad ke-7 masehi, namun hal ini tidak serta merta mengasumsikan al-Qur’an terbentuk dalam situasi dan budaya yang ada pada abad itu, karena al-Qur’an melampaui historisasinya sendiri. Al-Qur’an merupakan ajaran yang bersifat transhistoris, kebenarannya sepanjang zaman .
Hampir senada dengan Adnin Armas, Adian Husaini seorang kandidat Doktor bidang pemikiran dan peradaban Islam di Universitas Islam Internasional Malaysia, memberikan kritik yang tajam terhadap pemikiran Nasr Hamid dalam sebuah tulisannya yang dimuat pada tanggal 18 Mei 2006 pada situs insisnet.com/ kolom Adian Husaini. Adian Husaini memaparkan bahwa, Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode yang disebut sebagai hermeneutic. Ia seorang hermeneut. The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut.
Adian Husaini juga menjelaskan bahwa Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, apa ada yang disebut sebagai pengarang al-Quran?, bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang ini sangat penting untuk memahami teks.
Nasr Hamid didalam buku karangannya (Mafhum al-Nash) menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai penerima wahyu, pada posisi semacam “pengarang” al-Quran ini. Dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.
لقد كان محمد- المستقبل الأول للنص و مبلغه – جزء اً من الواقع و المجتمع. كان ابن المجتمع و نتاجه, نشأ فى مكة يتيماً, و تربى فى بني سعد كما كان يتربى أتربه فى البادية 
Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya.
Adian Husaini juga menyoroti tulisan Nasr Hamid Tentang konsep wahyu dan Muhammad , yang ditulis dalam buku “Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan” (2003:70), 
“ Mereka memandang al-Quran – setidaknya sampai pada tingkat perkataan – bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam bentuk kata-kata aktual – sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan --, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya.”
Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw diposisikan sebagai semacam pengarang al-Quran. Dan ini sebenarnya masih sejalan dengan pendapat para orientalis dan misionaris Kristen yang menyebut agama Islam sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law”, umat Islam disebut sebagai Mohammedan”. Tokoh misionaris terkenal Samuel M. Zwemmer, menyebut bukunya yang berjudul “Islam: A Challenge to Faith” (terbit pertama tahun 1907), sebagai “studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian Missions”.
Lebih tajam lagi Adian Husaini mengungkapkan kegundahannya akan penyebaran faham Nasr Hamid , ia menyatakan; 
“Pendapat seperti ini membawa dampak yang serius dalam pemahaman tentang konsep dasar al-Quran. Sebagaimana ditulis dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia, bahwa “Dengan pembongkaran ini, kajian atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensi al-Quran.”
Pada kenyataannya pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini akan mengakibatkan penyelewengan konsep dasar tentang al-Quran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa al-Quran, baik makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum. Al-Quran menyebutkan: “Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6).
Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai penyampai. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu yang baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrik Arab waktu itu. Satu contoh misalnya kata-kata ar-Rahman, dalam formulasi perjanjian Hudaibiyah rasul bersabda :”Tulislah dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Suhail menjawab “ demi Allah, aku tidak tahu apa itu maha penyayang (ar-Rahman) .
Pernyataan Nasr Hamid banyak yang tidak sesuai dengan fakta sejarahnya, dalam hal pengaruh Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an, al-Qur’an membantah hal tersebut 
 
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.” Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (an-Najm : 3-4).
Dalam beberapa ayat al-Qur’an menampakan keindependenannya sebagai wahyu Allah yang tidak terpengaruh oleh kepentingan Nabi Muhammad, misalnya :
1. Dalam kasus Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
Allah langsung menegur nabi melalui wahyu-Nya. Dalam hal ini al-Qur’an melakukan kritiknya kepada nabi Muhammad. Jika sekirannya nabi memilki otoritas dalam pelafazan dan pemaknaan al-Qur’an, sebagai manusia yang memilki jiwa kemanusiaan, pastilah ayat tersebut tidak akan disampaikan oleh nabi. Karena hal tersebut akan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai pemimpin dan panutan umat.namun kenyataannya pristiwa tersebut diabadikan dalam surat Abasa dimulai dari ayat pertama 

1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2. karena telah datang seorang buta kepadanya
3. tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
2. Kasus kedua ketika nabi menginginkan adanya tawanan perang, namun justru wahyu yang turun ketika itu menyesalkan tindakan nabi Muhammad

67. tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
68. kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (al-Anfal :67-68)
Nyatanya ijtihad nabi ketika itu ditentang oleh al-Qur’an, sehingga turunlah ayat ini, sebagai teguran bagi nabi.
3. Ketika nabi diperintah untuk menikahi Zainab, pada hakikat kemanusiaanya yang seharusnya dipengaruhi sosial masyarakat ketika itu, serta faktor politik, dan ditinjau secara moral masyarakat saat itu, nabi menolaknya. Namun perintah tetaplah perintah yang harus ditaati dan dijalankan.

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
(al-Ahzab :37)
4. Ketika nabi ingin berkompromi dengan kaum Qurais, sebagai sebuah strategi politik, al-Qur’an turun menegur kecondongan nabi tersebut. Dalam surat al-Isra ayat 73-75, Allah berfirman

73. dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia.
74. dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu Hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
75. kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.
Ayat ini sudah sangat jelas membantah campur tangan nabi dalam pelafazan dan pemaknaan al-Qur’an. Bahkan Allah mengancam dengan siksaan yang pedih, jika sekirannya nabi berani memalingkan dari apa yang telah diwahyukan oleh Allah disebabkan faktor lingkungan sosial sekitarnya.
Jadi atas dasar apa Nasr Hamid kemudian mengambil sebuah kesimpulan bahwa nabi sangat mungkin berperan aktif dalam proses tanzil menjadi takwil???
Kajian historisitas Kitab suci semacam ini pun sebenarnya telah berkembang lama dalam tradisi Bible. Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: 
“That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written… we must first understand the historical situation in which they were first written.”
Jadi, kata penulis buku ini, jika ingin tahu apa yang dimaksud oleh teks Perjanjian Baru oleh penulisnya, maka harus tahu kondisi sejarah saat kitab itu ditulis. Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di Madras, India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis terhadap al-Quran dilakukan dengan menggunakan metodologi kritik Injil (Biblical Criticism). Sell sendiri, dalam karyanya Historical Development of the Qur’an sudah menggunakan metodologi higher criticism, untuk mengkaji historisitas al-Qur’an. (Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama terbit tahun 1928).
Yang menjadi pertanyaan kita ketika metode hermeneutik dipaksakan guna mengkaji al-Qur’an, apakah Nabi Muhammad saw menulis al-Quran? Sebagaimana Lukas, Markus, Matius, Johanes menulis Bible? Tentu tidak sama. Posisi dan kondisi teks al-Quran dan Bible itulah yang sebenarnya berbeda, sehingga tidaklah tepat jika metode interpretasi Bible yang disebut sebagai hermeneutika juga diterapkan tehadap al-Quran. Analoginya adalah, apakah gergaji yang berfungsi untuk memotong kayu, dapat juga dipakai untuk memotong hewan ?
Pada akhirnya para pengusung hermeneutik terjebak pada sikap fanatisme pemikiran yang sebenarnya mereka tentang sendiri. Nasr Hamid yang seorang hermeneut, sangat mengecam keras metode tafsir kaum Ahlusunnah yang didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nas Diraasah fii Uluum al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Mereka menyusun sumber-sumber pokok pengambilan tafsir pada empat hal yang dimulai dengan pengambilan dari Rasulullah saw, kemudian mengambil pendapat sahabat, lalu merujuk pendapat-pendapat tabi’in, baru kemudian muncul tingkat keempat, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.
Seorang Profesor pendiri kampus International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) Malaysia, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sangat menentang penggunaan hermeneutik dalam pengkajian al-Qur’an, beliau berpendapat bahawasannya, hermeneutik sangat berbeda dengan tafsir al-Qur’an, dan oleh karena itu tidak dapat diterapkan untuk menggantikan ilmu tafsir.
Begitupula halnya dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, mantan wakil direktur ISTAC yang pernah berguru kepada Fazlurahman, ia menilai bahwa tafsir benar-benar tidak indentik dengan hermeneutik Yunani, juga tidak indentik dengan hermeneutik Kristen dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain  

Aliran Hermeneutik
Pada mulanya hermeneutik berada pada ruang lingkup teologi, namun pada perkembangan selanjutnya hermeneutik memasuki wilayah kajian filsafat, hal ini diprakarsai oleh seorang filosof berbangsa Jerman, Friedrich Schleiermacher. Filosof yang berfahaman Protestan ini dianggap sebagai pendiri 'hermeneutika umum' yang dapat diaplikasikan kepada semua bidang kajian. Namun, seperti dinyatakan oleh Aref Nayed, perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat itu pun tidak terlepas dari motif teologi Kristen yang dianut oleh Schleiemacher.
Setelah hermeneutika menjadi subjek filsafat, maka lahirlah berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Disana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.
Contoh Aplikasi 
Ketika kita ingin mengaplikasikan metode hermeneutik kedalam kajian al-Qur’an, akan timbul pertanyaan, aliran hermeneutik mana yang akan kita pakai, apakah Dilthey, atau Heidgegger, ataukah Gademer ? 
Dr. Ugi Suharto memberikan contoh, Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer. Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami. 
Ada sebuah kesalahan besar yang diterapkan oleh para orientalis atau Islamologi Barat ketika mengkaji al-qur’an. Menurut Hasan Hanafi, kondisi studi Islam tidak adanya kesesuaian antara metode yang dianut dengan obyek studi itu sendiri . Para orientalis dan kader-kadernya mencoba untuk membuat kesesuaian dalam metode penafsiran al-Qur’an, upaya itu sudah dimulai sejak abad ke-19 M.
Abraham Geiger, seorang Rabbi Yahudi pada tahun 1833 menulis sebuah karya tulis dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi ?) didalam karyanya tersebut, ia mengkaji al-Qur’an dari konteks ajaran-ajarn Yahudi. Salah seorang orientalis lain yang mencoba menerapakn metode kritis-historis untuk mengkaji al-Qur’an adalah Arthur Jeffery, ia adalah seorang penganut Kristen Metodist berkebangsaan Australia. Jeffry berpendapat bahwa agama yang memilki kitab suci akan memiliki masalah dalam sejarah teks (textual history). Alasannya, Ini disebabkan karena tidak ada satupun autografi dari naskah asli dulu yang masih ada. Menurut Jeffry, perlu dilakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana yang telah diterapkan kepada Bible. Ditambahkanya lagi, bahwa para mufasir Muslim belum ada yang menafsiri al-Qur’an secara kritis. Untuk itu perlu diaplikasikan metode kritis ilmiyah, ia menyatakan : 
“Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis moder untuk menafsiri al-Qur’an .
Gayung bersambut, seruan para orientalis ini nampaknya disambut denga baik oleh para sarjana Muslim yang notaben anak didik mereka. M. Arkoun misalnya, menyerukan kepada para sarjana Muslim untuk mengikuti jejak para orientalis, ia menyatakan :
“ Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci yang telah diaplikasikan kepada Bible Ibrani dan perjanjian baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat keserjanaan Muslim. Karya-karya mazhab Jerman terus ditolak, dan kesarjanaan Muslim tidak berani menempuh penelitian seperti itu sekalipun penelitian tersebut akan menguatkan sejarah mushaf dan teologi wahyu.”
Salah satu produk hasil ‘pencangkokan’ hermeneutik terhadapa tafsir al-Qur’an ala Abu Zayd adalah lahirnya produk hukum (fiqih) yang sangat berseberangan denga Islam, satu kasus misalnya lahirnya kitab Fiqih Lintas Agma. Disamping itu para pengusung hermeneutik untuk al-Qur’an terjebak pada pemahaman relativisme tafsir, relativisme kebenaran, dekonstruksi konsep wahyu untuk al-Qur’an, pluralisme agama. Sehingga mereka yang berada dalam lingkaran ini hidup dalam dunia yang ‘Abu-abu’, kehidupan yang tidak jelas. Tidak ada landasan yang kokoh, karena segala sesuatu akan berakhir pada relativ. Pemahaman ini akan berakibat buruk, karena tidak ada patokan yang jelas, dapat dibayangkan misalnya, dijalanan terdapat tulisan “Dilarang berhenti disini”, jika semua orang berhak menafsiri kalimat tersebut sesuai fersinya masing-masing apa yang akan terjadi ? karena tidak ada standar penilaian yang jelas. Dapatkah dibayangkan bagaimana semerautnya lalu lintas jika semua pengendara memahami dan menafsiri rambu-rambu lalu-lintas sesuai faham relativisme, karena faham ini menolak kebenaran yang absolut dan kebenaran yang tunggal. Jika dalam kehidupan lalu-lintas yang berfungsi mengatur para pemakai jalan saja ada ketetapan yang bersifat absolut dan tidak dapat ditafsiri secara sendiri-sendiri, apalagi dengan agama ! mungkinkah agama dapat difahami dan ditafsiri secara relativ ? apa yang akan terjadi jika larangan mencuri difahami secara relativ oleh setiap orang ? yang terjadi adalah satu sisi menentang tindak pencurian dan dilain sisi akan mendukung aksi pencurian, lalu mana yang benar diantara keduanya ?

Kesimpulan 
Pada dasarnya setiap ilmu itu baik adanya, namun menjadi tidak baik jika salah dalam penerapan. Mempelajari suatu ilmu merupakan kebutuhan, tidak ada salahnya jika kita mempelajari ilmu metode mencuri, namun bukan berarti kita akan menjadi pencuri. Dengan mempelajari ilmu metode mencuri kita akan dapat terhindar dari tindakan pencurian.
Hermeneutik sebagai sebuah disiplin ilmu pernah dipakai dalam pengkajian bible, mungkin bisa tepat diterapkan pada bible, namun belum tentu tepat digunakan untuk mengkaji al-Qur’an. Perumpamaan hermeneutik seperti sebuah gergaji yang berfungsi sebagai alat memotong kayu. Untuk obyek seperti kayu, gergaji memang cocok digunakan, namun menjadi tidak cocok jika gergaji dipaksakan untuk memotong hewan.
Kajian kritis al-Qur’an yang ingin dikembangkan oleh para pemikir Barat telah mendapat sambutan oleh sebagian cendikiawan Islam, baik itu yang di Indonesia khususnya atau didunia Islam lainnya secara umum. Namun sebagai orang yang berfikiran kritis, hendaknya juga bersifat kritis atas apa yang ditawarkan oleh para orientali itu, terutama dalam hal pengkajian al-Qur’an dengan menggunakan Metode Hermeneutik.
Umat Islam sejak zaman nabi Muhammad tidak pernah mengalami kesulitan dalam memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Dr. Ugi memberikan contoh Surat al-Ikhlas dalam al-Qur'an, misalnya, dapat difahami dengan mudah oleh kaum Muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setanding dengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahaman mengenai tauhid antara orang awam dan ulama, namun tidak ada seorang Muslim-pun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yang satu. Seorang Muslim awam yang memahami keesaan Allah dengan "mathematical oneness" tidak keluar dari aqidah Islam yang benar, walaupun kurang halus pemahamannya. Untuk memperhalusnya, Muslim tidak perlu pada hermeneutika. Sebaliknya, konsep trinity itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya, karena pada tataran lafaz yang zahir sekalipun, trinity itu memang susah difahami. 
Kajian tafsir yang telah disusun oleh para ulama’ terdahulu bukanlah berangkat dari keragu-raguan mereka terhadap al-Qur’an, namun lebih kepada penjelasan rincih apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan tidak menambah ataupun mengurangi makna yang sesungguhnya dalam al-Qur’an. Para mufasir tidak pernah menafsiri al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan apapun dibaliknya. Maka sangatlah tidak beralasan jika para orientalis menuduh dengan tampa bukti bahwa para mufasir klasik dalam menyusun kitab tafsirnya sangat dipengaruhi oleh latar sosila, budaya dan politiknya. Sangat tidak mungkin orang seperti Ibnu Katsir berani menyelewengkan makna al-Qur’an demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya, setiap mufasir pada zaman itu berdiri pada landasan yang benar dengan tingkat kesolehan yang tidak diragukan lagi.
Sangat jauh berbeda dengan para orientalis yang mencoba menanamkan paham keragu-raguannya terhadap al-Qur’an. Mereka berangkat dari kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Trauma kegelapan yang pernah mereka alama pada masa dominasi gereja telah menghantarkan mereka pada apatis terhadap agama sehingga tidak ada rasa tabu bagai mereka mengobok-obok bible dengan pisau hermeneutik. 

Penutup 
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwasanya, sikap kritis kita terhadap kajian hermeneutik bukan berarti menolak keseluruhan apa yang datang dari luar. Hal ini juga bukan sebuah sikap penolakan secara buta terhadap disiplin keilmuan, namun harus diperhatikan apakah penerimaan kita terhadap sebuah metode untuk mengkaji al-Qur’an akan berimplikasi kepada penambahan keimanan atau sebaliknya !. pada kenyataannya apa yang dilakukan oleh mereka yang mengusung hermeneutik sebagai metode penafsiran berimplikasi kepada legitimasi perombakan konsep dan hukum Islam yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu. Maka ada baiknya kita kembali kepada peringatan Allah yang termaktub dalam al-Qur’an pada surah dan ayat berikut ini, agar kita tidak terjebak pada “menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang Murah”. 


“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (al Jatsiyah : 18)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.(al-Mu’minun :71)


“Dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab , dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.(Ar-ra’du :37)


Sesungguhnya Kami telah mengambil Perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. tetapi Setiap datang seorang Rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari Rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.(al-Ma’idah : 70) 
 
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (al-ma’idah : 48)

“Dan mereka mendutakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya (al-Qomar :3)
Hadits Nabi Muhammad SAW :
“Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi [kalau bukan mereka]." (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)



Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim

Husaini, Adian. Hegemoni Kristen-Barat :dalam studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani Press. Cetakan kesatu. 2006.

_____________. Hermeneutika dan tafsir al-Qur’a. Jakarta: Gema Insani Press. Cetakan kesatu. 2007 

Armas, Adnin. Metodologi Bible : dalam Studi Al-Qur’an, kajian kritis Jakarta: Gema Insani Press.cetakan kesatu. 2005

B. Saenong , Ilham. Hermeneutika Pembebasan, Jakarta : Teraju. 2002.

Tiem editor. Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina.Yogyakarta: Wihda Press. 2004.

E. Palmer, Richard. Hermeneutika: teori baru mengenai interpretasi. terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua. 2005.

 Hamid Abu Zayd, Nasr. Mafhum al-Nas: Dirosah fi ulumil Qur’an. Beirut: al-Markaz as-Staqofi al-Arabi.edisi kelima. 2000.
_______________________. Naqd al- Khitab al- Dini. Kairo : Sina li al-Nashr.edisi pertama. 1992
Wahyudi, Yudian. Ushulul Fikih Versus Hermeneutika : Membaca Islam dari Kanada dan Amerika. Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press. Cetakan ketiga. 2006.

Gamal al-Banna. Evolusi Tafsir: dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern. Jakarta : Qisthi Press, cetakan kedua, 2005

Hanafi, Hasan. Turas dan Tajdid ( Titian Ilahi Press.)



Oleh :
Erwin Suryaningrat, S.S


PROGRAM PASCA SARJANA UIN SUNAN KALIJAGA 
PROGRAM AGAMA DAN FILSAFAT KONSENTRASI ILMU BAHASA ARAB
YOGYAKARTA 
2008




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda